Hukum Agraria - Desa Perdikan dan Penghapusan Hak-Hak Konvensi
TUGAS I HUKUM AGRARIA
Nim : 11010115120024
Kelas : B Hukum Agraria
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
A. Desa Perdikan
1.
Sebelum Kemerdekaan
Desa
perdikan adalah desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada
pemerintah pusat (pada zaman kerajaan). Tanah perdikan merupakan tanah yang
diberi hak istimewa dengan tidak dipunguti pajak. Biasanya tanah perdikan
diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada sang raja yang memerintah.
Tanah perdikan juga biasa diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu, yang mana
tanah tersebut biasanya dibangun candi atau lingga. Masyarakat sekitar candi
diberikan keistimewaan untuk tidak membayar pajak dengan syarat, mereka harus
harus menjaga dan merawat candi tersebut. Dengan demikian, pemberian tanah
perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langkah, karena hanya
diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja.
Perdikan yang artinya suatu daerah
dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban
pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah
tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah
perdikan diberiakan oleh Raja Bhanu meliputi daerah Salatiga dan sekitarnya.
Menurut sejarahnya di dalam presasti Plumpungan berisi ketetapan hukum yaitu: Suatu
ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada
zamannya, penetapan ketentuan prasasti Plumpungan ini merupan peristiwa yang
sangat penting, hkususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan
titki tolak berdirinya daerah Hampra secara secara resmi sebagai desa perdikan
atau swantantra, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian
daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada
zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang.
2.
Setelah Kemerdekaan
·
Penghapusan Desa Perdikan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
pernah dilaksanakan langkah-langkah pendahuluan landereform dalam skala kecil, hal ini diberitahukan oleh Selo
Soemardjan. Yang pertama yaitu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun
1946 berupa penghapusan hak istimewa dari apa yang dikenal sebagai desa
perdikan di daerah banyumas, Jawa Tengah. Pendiri desa diangkat sebagai Kepala
Desa, dengan jabatan yang bersifat turun-temurun. Para Kepala Desa tersebut
umumnya mempunyai tanah yang relatif luas, yang dikerjakan oleh para warga desa
sebagai penggarap bagi hasil.
Berlangsungnya eksistensi desa-desa perdikan dengan
hak-hak istimewa tersebut dianggap tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi yang
menuntut Revolusi Indonesia, demikian Selo Soemardjan. Maka dengan menggunakan
sebagai dasar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946, Menteri Dalam Negeri menyatakan
tidak mengakui desa beserta
keluarga-keluarga yang berkuasa atas semua hak istimewa tradisionalnya.
Setengah dari tanah-tanah yang dikuasai oleh para Kepala Desa dan keluarganya
sebagai sumber pendapatan pribadi diambil oleh negara dan dibagikan kepada para
petani yang menggarapnya. Para Kepala Desa memperoleh ganti rugi dalam bentuk
uang bulanan selama hidupnya.
B.
Penghapusan Hak-Hak Konversi
1.
Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat ialah lembaga “Konversi”
yang berlaku di keresidenan Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak
semula abad ke-19 orang-orang asing sudah mulai mengadakan usaha di daerah
Surakarta dan Yogyakarta, yang dulu disebut “Vorstenlanden”. Di daerah-daerah
tersebut, semua tanah adalah milik raja, rakyat hanya sekedar memakainya.
Mereka diwajibkan menyerahkan sebagian (seperdua atau sepertiga) dari hasil
tanahnya kepada raja, jika yang dikuasainya tanah pertanian, atau melakukan
kerja paksa jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada anggota keluarganya dan
hamba-hambanya yang berjasa atau setia oleh raja diberikan tanah sebagai
nafkah. Pemberian tanah disertai pula pelimpahan hak raja atas bagian hasil
tanah tersebut diatas, mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini
disebut stelsel apanage.
Baik
oleh Raja maupun para pemegang apanage,
sejak abad ke-19 banyak tanah disewakan kepada penguasa-penguasa asing untuk
usaha pertanian, berikut hak untuk memungut sebagian dari hasil tanaman rakyat
yang mengusahakan tanah yang bersangkutan. Pada hakikatnya, persewaan tanah
tersebut adalah penebasan hak raja dan para pemegang apanage
atas sebagian hasil tanaman rakyat. Yang mereka perlukan ialah penguasaan atas
tanahnya, yang akan mereka tanami dengan tanaman-tanaman yang diperlukan untuk
pasar dunia yaitu tebu, tembakau, kopi,
coklat, karet dan lain-lainnya. Untuk itu, maka pelaksanaan kewajiban rakyat
kepada penguasa tersebut diatur sebagai berikut: rakyat tidak diwajibkan
menyerahkan sebagian dari hasil tanahnya, tetapi seperdua atau sepertiga dari
luas tanah yang bersangkutan diminta oleh pengusaha untuk ditanaminya sendiri.
Untuk
pemungutan sebagian hasil tanaman rakyat itu, ditempatkanlah oleh raja dan para
pemegang apanage orang-orang yang
disebut “bekal”. Para bekal ini mendapat seperlima dari tanah
rakyat. Bagi rakyat jadi tinggal empat perlima. Dari sisi ini, seperdua diminta
pengusaha. Maka, tanah yang diusahakan sendiri oleh rakyat tinggal dua perlima saja.
Selain itu rakyat wajib melakukan pekerjaan bagi pengusaha selama waktu yang
sama dengan yang diperlukannya untuk mengusahakan tanah yang seperdua sepertiga
itu, jika ia menanaminya sendiri dengan dengan tanaman rakyat.
2.
Berdasar
stelsel Hukum Agraria atau Hukum Tanah feodal itulah maka di daerah Surakarta
dan Yogyakarta dapat berkembang dengan subur perusahaan-perusahaan pertanian
besar asing. Sebaliknya, menimbulkan keadaaan yang sangat memperhatinkan bagi
rakyat tani. Untuk sekedar mengurangi penyalahgunaan yang akan menambah beban
rakyat, diadakanlah peraturan-peraturan yang dikenal denagan nama Landverhuur-reglement yang terakhir
ditetapkan dengan kroon-ordonnantie dalam
S. 1906-93. Tetapi dengan Landverhuur-reglement itu saja,
keburukan-keburukan belum dapat dicegah dan diatasi. Berhubungan dengan itu
diadakan reorganisasi dalam Hukum
Agraria yang bertujuan memberi kedudukan yang layak kepada rakyat tani.
Pertama-pertama, stelsel apanage
dihapuskan, semua tanah dikembalikan oleh raja dan para bekas pemegang apanage medapat tunjangan berupa uang
setiap bulan.
3.
Dalam tahun 1918 dikeluarkan ordonansi yang mula-mula diberi nama Grondhuur
reglement voor de residentien Surakarta en Yogyakarta, kemudian tahun 1928
diubah menjadi Vorstenlandsch Grondhuur Reglement (VGR). Menurut VRG, ada 3
cara bagi pengusaha untuk mendapat tanah yaitu:
·
Atas kekuatan “beschikking” atai
keputusan dari raja,
·
Secara menyewa dari rakyat, dan
·
Secara menyewa dari raja.
Para pengusaha yang
masih menguasai tanah berdasarkan aturan Landhuur diberi kesempatan untuk
mendapat tanah menurut peraturan VGR tersebut dengan cara:
·
Melepaskan segala haknya atas tanah yang
bersangkutan.
·
Kemudian dengan keputusan raja diberikan
jaminan bahwa pengusaha akan memperoleh tanah yang diperlukan untuk
perusahaannya dengan hak istimewa, selama jangka waktu maksimal 50 tahun.
Penggantian itu disebut
“konversi” dan beschikking dari raja menurut VGR disebut “beschikking
konversi”. Hak yang timbul atas kekuatan keputusan raja itu lazim disebut pulan
hak konversi.
4.
Tetap berlangsungnya cara penguasaan atass tanah yang didasarkan atas stelsel
feodal itu setelah Indonesia merdeka mendapat tantangan yang hebat,
terutama dari para petani yang
bersangkutan. Atas tuntutan rakyat itu dikeluarkanlah dalam tahun 1948 Undang-Undang No.13 Tahun 1948, yang
mencabut ketentuan-ketentuan VGR yang mengatur hak-hak konversi tersebut.
Dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan itu, lembaga konversi menjadi dihapus,
tetapi hak konversinya sendiri menurut hukum masih tetap berlangsung. Oleh
karena itu pada tahun 1950 dikeluarkan Undang-Undang
No.5 Tahun 1950, yang memuat ketentuan-ketentuan tambahan dan pelaksanaan
Undang-Undang No.13 Tahni 1948. Secara tegas hak-hak konversi semuanya
dihapuskan, begitu pula hypotheek
yang membebaninya.
5.
Sementara itu diantara tanah-tanah bekas konversi di Keresidenan Surakarta,
baik yang berupa tanah pegunungan maupun tanah datar, baik yang sudah digarap
atau dipakai oleh penduduk setempat untuk usaha pertanian atau tempat perumahan.
Dalam raangka penertiban pemakaian tanah-tang negara dan pelaksanaan program,
pemerinatah setempat akan memberikan kepada rakyat tanah-tanah yang
diperlukannya untuk usaha pertanian dan tempat tinggal, penguasaan tanah-tanah
tersebut disahkan berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian dan Agraria no. SK 2/Ka/1963 tentang Pemberian hak milik atas tanah-tanah bekas konversi di keresidenan
Surakarta.
Komentar
Posting Komentar