Tugas Peradilan Koneksitas
Tugas I Hukum Acara Pidana
“Pengadilan Koneksitas”
NAMA : THANIA PUTRI MARNI
NIM :
11010115120024
KELAS : C
PERADILAN
KONEKSITAS
Koneksitas
berasal dari bahasa latin connexion, yang artinya perkara pidana yang diperiksa
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum terhadap mereka yang
bersama-sama melakukan delik yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan
peradilan militer.
A. Pengertian Peradilan Koneksitas
Peradilan koneksitas adalah suatu
system peradilan yang ditetapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara
tersangkanya terjadi penyertaan antara penduduk sipil dengan angggota militer.
Menurut Prof. Andi Hamzah yang dimaksud dengan peradilan koneksitas adalah
system peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan anatara orang oang
sipil dan orang militer. Beliau juga berpendapat bahwa didalam peradilan
koneksitas selalu terjadi penyertaan anatara penduduk sipil dengan orang militer. Dari pengertian diatas
dapat dilihat bahwa yang menjadi permasalahan pokok di dalam peradilan
koneksitas adalah mengenai yurisdiksi mana yang yang berwenang untuk mengadili
perkara yang melibatkan penyertaan antara penduduk sipil dengan anggota
militer.
Pengertian koneksitas yang
ditegaskan dalam KUHAP pasal 89 adalah tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Koneksitas adalah mekanisme hukum
acara untuk mengadili tindak pidana yang perkaranya dicakup oleh kewenangan dua
peradilan yakni Peradilan Militer dan Pperadilan Umum, khususnya tindak pidana
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang secara perarel diatur dalam hukum
pidana militer dan umum.
1. Peradilan Militer
Peradilan militer adalah lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer. Dasar
hukum militer adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diperbaharui oleh Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pperadilan
Militer. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, peradilan Militer merupakan
pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata untuk
menegakkan hukum dan keadilan dengan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Dalam pelaksanaannya peradilan militer
dijalankan oleh pengadilan militer, yakni pengadilan yang merupakan badan
pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan angkatan bersenjata. Pengadilan
dalam peradilan militer terdiri atas pengadilan miiter, pengadilan militer
tinggi, pengadilan milter utama, dan pengadilan militer pertempuran. Sususnan
organisasi dan prosedur pengadilan-pengadilan tersebut didasarkan pada
peraturan pemerintah. Puncak kekuasaan kehakiman dan pembinaan teknis
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer adalan Mahkamah Agung.
Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang : mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah Prajurit, Yang
berdasarkan undang-undang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
undang-undang, seseorang yang tidak termasuk golongan pada huruf a, huruf b,
dan huruf c tetapi atas putusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman
harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Peradilan Umum
Pengadilan negeri adalah suatu
pengadilan (umum) yang memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dari
segala perkara sipil untuk semua golongan penduduk (warga negara dan orang
asing). Setiap perkara dalam pengadilan negeri diadili oleh sekurang-kurangnya
tiga orang hakim yang dibantu oleh seorang panitera. Perkara summier
(perkara-perkara ringan yang ancaman hukuman kurang dari satu tahun) diadili
oleh seorang hakim (hakim tunggal) daerah hukum pengadilan negeri pada dasarnya
meliputu daerah kabupaten/kota. Dengan
demikian, pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutuskan suatu perkara
perdata atau pidana yang terjadi dalam wilayah daerah kabupaten/kota yang
menjadi kekuasaannya. Berkaitan dengan hal ini, pengadilan negeri memiliki
kewenangan nisbi, kewenangan nisbi adalah kewenangan untuk memeriksa gugatan
atas tuntutan berdasarkan tempat tinggi tergugat.
B. Dasar Hukum Pengadian Koneksitas
Dasar hukum yang paling pokok
peradilan koneksitas didalam pasal 22 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut berbunyi : “Tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali kalau menurut keputusan Menteri
pertahanaan/keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.
Selain
itu, pasal 89 (1) KUHAP, maka dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi sebuah
peristiwa pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh warga sipil yang
secara hukum berada dalam lingkungan peradilan umum dengan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang secara hukum
berada dalam lingkungan peradilam militer. Untuk mendapatkan pengadilan mana
yang akan mengadili diatur dalam pasal 90 KUHAP yaitu, untuk menetapkan apakah
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasat 89 ayat 1, dia adakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tingggi
dan oditur militer dan oditur militer tinggi atas dasar hasil penyelidikan tim
tersebut pada ppasal 89 ayat 2.
Koneksitas
hanya dibentuk dalam kerangka transisi (amademen KUHAP militer atau adanya
pembagian yang jelas anatara KUHP dan KUHPM) dan akan ditampung dalam aturan
peradilan UU Peradilan Militer dan KUHAP. Karangka transisi berlaku sampai
dipenuhnya syarat perubahan pada (1) UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, dan (2) KUHPM selambat-lambatnya hingga akhir Desember 2005.
Pengaturan tentang koneksitas ditempatkan pada bagian aturan peradilan amandemen
KUHAP.
C. Proses Bekerja Peradilan
Koneksitas
Seebuah perkara koneksitas itu
diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer itu dalam ketentuan
pasal 90 KUHAP yang menjelaskan : untuk menentukan apakah lingkungan peradilan
militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas, diukur
dari segi “kerugian” yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu, apabila kerugian
yang ditimbulkan oleh sebuah tindak pidana tersebut lebih memberikan kerugian
terhadap “kepentingan militer”, sekalipun pelaku tindak pidananya lebih banyak
dari kalangan masyarakat sipil, pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan
oleh lingkungan pperadilan militer. Selam kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang terjadi tidak merugikan kepetingan militer, sekalipun pelakunya
lebih banyak anggota TNI/Polri, maka perkara koneksitas diperiksa dan diadili
oleh lembaga peradilan umum.
Ø Penyidikan
Perkara Koneksitas
Pasal
89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam melakukan
penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat yang berwenang dalam melakukan
penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas
terdiri dari suatu “tim tetap”, yang terdiri dri unsur :
a.
Unsur Penyidik Polri
b.
Polisi Militer
c.
Oditur militer atau oditur militer tinggi
Cara berkerja tim disesuaikan dengan
kewenangan yang ada pada masing-masing unsur tim. Bila dilihat dari segi
wewenang masing-masing unsur tim, maka :
a.
Tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur ppenyidik Polri
b.
Sedangkan tersangka pelaku anggota TNI/Polri diperiksa oleh penyidik dari
polisi Polisi Militer dan Oditur Militer.
Ø Susunan
Menjelis Peradilan Koneksitas
Susunan
Majelis Hukum peradilan perkara koneksitas disesuikan dengan lingkungan
peradilan yang mengadili perkara tersebut.
a.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum, maka susunan Majelis Hakimnya
adalah :
·
Sekurang-kurangnya Majelis Hakim terdiri
dari tiga orang.
·
Hakim diambil dari hakim dari Peradilan
Umumu (Pengadilan Negeri)
·
Hakim anggota ditentukn secara berimbang
anatara lingkungan peradilan umum dengan lingkunga peradilan militer.
b.
Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingakungan Peradilan
Militer, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
·
Hakim ketua dari lingkungan Peradilan
Militer.
·
Hakim anggota diambil secara berimbang
dari hakim Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
·
Hakim anggota yang berasal dari
lingkungan Peradilan Umum diberi perangkat militer “tituler”
·
Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri
Hukum dan HAM bersama dengan Menteri Pertahanan
·
Susanan ini juga berlaku pada susunan
Majelis Hakim pada tingkat banding
Dalam
hal melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan dalam suatu tindak pidana
umum yang melibatkan pelaku militer, Polisi Militer wajib membantu Kepolisian.
Kejaksaan memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penuntutan dalam suatu
tindak pidana umum uang melibatkan pelaku militer. Dalam hal Polisi Militer
sebagai penyidik tindak pidana kemiliteran mengetahui telah terjadi pula tindak
pidana umum yang dilakukan oleh pelaku militer maka Polisi Militer wajib
menyerahkan kepada pihak Kepolisian. Tindak pidana umum yang dilakukan oleh
militer berlaku ketentuan penyelidikan dan penyidikan seta penuntutan di dalam
KUHAP. Pelibatan Polosi Militer dalam penyidikan tindak pidana umum yang
dilakukan oleh prajurit dilakukan apabila polisi memerlukan upaya paksa
termasuk tapi tidak terbatas pada tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan surat. Komandan satuan wajib melaporkan kepada polisi
selambat-lambatnya 3 kali 24 jam setelah diketahui adanya tindak pidana umum
yang dilakukan oleh prajurit bawahannya. Polisi wajib memberitahu komandan
satuan selambat-lambatnya 1 kali 24 jam setelah melakukan tindakan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat terhadap prajurit
bawahannya.
Komentar
Posting Komentar