HUKUM HARTA KEKAYAAN- Analisis Perjanjian Kawin Mengenai Pembagian Harta Gono-Gini
TUGAS HUKUM
HARTA KEKAYAAN
ANALISIS
PERJANJIAN KAWIN MENGENAI PEMBAGIAN HARTA GONO GINI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG PERKAWINAN DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Disusun oleh :
NAMA : THANIA PUTRI MARNI
NIM : 11010115120024
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
I.1
LATAR BELAKANG
Pada masa sekarang ini, banyak
perkawinan yang harus berakhir dengan perceraian. Perkawinan bukan lagi
dianggap sesuatu yang sakral sehingga apabila terjadi perceraian maka merupakan
hal yang biasa dan bukan merupakan hal yang tabu, bahkan di kalangan tertentu
perceraian bisa dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan popularitas. Oleh
karena itu maka perceraian semakin banyak terjadi tidak hanya di kalangan
masyarakat awam, akan tetapi juga banyak terjadi di kalangan masyarakat
golongan intelektual.
Perceraian membawa akibat hukum
sebagai konsekuensi yaitu status suami atau istri dan kedudukan anak, maupun
mengenai harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan. Menentukan status
kepemilikan harta selama perkawinan penting untuk memperoleh kejelasan
bagaimana kedudukan harta itu jika
terjadi kematian salah satu suami atau istri, mana yang merupakan harta
peninggalan yang akan diwaris ahli waris masing-masing. Demikian pula apabila
terjadi perceraian harus ada kejelasan mana yang menjadi hak istri dan mana
yang menjadi hak suami. Harta di dalam perkawinan dibedakan atas harta bersama dan
harta asal atau bawaan. Hal ini diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Pasca
terjadinya perceraian persoalan mengenai harta bersama sering terjadi antara
mantan suami dan mantan istri bahkan persengketaan atas harta bersama tersebut
seringkali melibatkan keluarga besar dari masing-masing pihak. Adanya
persengketaan atas harta bersama yang melibatkan keluarga besar dari mantan
suami atau mantan istri. Berdasarkan Pasal 126 KUHPerdata tersebut bahwa
perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut
harus dibagi diantara pasangan suami istri.
KASUS :
Anne J Cotto
memang sudah resmi bercerai dari Mark Hanusz pada 13 Mei 2013 lalu. Kendati
demikian, ibu satu anak itu harus lagi-lagi berurusan dengan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Karena
sang mantan suami menuntutnya soal pembagian harta goo-gini.
Mantan
suaminya meminta hak mencakup rumah, tanah dan apartemen yang saat ini
ditempati Anne. Tentu dengan permintaan itu, Anne merasa keberatan.
"Jelas
keberatan. Karena kita punya perjanjian pranikah tercatat di KUA tempat Anne
nikah," ujar Ibnu Ali Tindri, pengacara Anne J Cotto di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Rabu (26/2).
Anne sendiri
merasa kalau apa yang diminta mantan suaminya adalah hak yang memang didapatkan
dari usahanya. Apalagi memang sudah ada perjanjiannya. Karena itu, dia tetap
akan mempertahankan apa yang menjadi miliknya.
"Saya
cuma menjalankan hak saya. Semua kita pertahankan karena kita punya
perjanjian," tegas Anne.
Untuk saat
ini Mark, dikatakan Anne, tinggal di sebuah apartemen yang juga dicicil oleh
Anne. "Beliau (Mark) juga tinggal di apartemen yang saya cicil (mulai
tahun) 2012 bulan Mei. Sampai sekarang di sana. Kalau yang diminta, rumah di
daerah Setiabudi kelurahan Pasar Manggis, apartemen Casablanca dan tanah
sekitar 800 M2," pungkasnya.[1]
I.2 Rumusan Masalah
A.
Bagaimana perbandingan pembagian harta gono gini dengan adanya perjanjian
perkawinan yang menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ?
PEMBAHASAN
II.A Perbandingan Pembagian Harta
Gono Gini Dengan Adanya Perjanjian Perkawinan Yang Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
Di dalam KUH Perdata (BW), tentang
Harta Bersama menurut Undang Undang dan Pengurusnya diatur dalam Bab VI Pasal 119-138, yang
terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang Harta Bersama menurut
Undang-Undang (Pasal 119-123), Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama
(Pasal 124-125) dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama dan
Hak Untuk Melepaskan Diri Padanya (Pasal 126-138).
Menurut KUH Perdata Sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara pihak suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama
perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu
persetujuan antara suami-istri (Pasal 119). Berkenaan dengan soal keuntungan,
maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak
bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga
barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal
terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya
dengan tegas (Pasal 120).
Dalam Pasal 122 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek “Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi
hukum berlakukah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar
mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak ditiadakan ketentuan lain. Peraturan
itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu
persetujuan antara suami istri. Segala utang dan rugi sepanjang perkawinan
harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan. Bagi mereka yang tunduk pada
Hukum Perdata Barat (BW) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan dalam
Pasal 119 BW (KUH Perdata) menyebutkan; Mulai saat perkawinan dilangsungkan,
demi hukum berlakulah persatuan antara persatuan bulan antara harta kekayaan
suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan
ketentuan lain.
Persatuan itu sepanjang perkawinan
tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan
istri. Dengan demikian, di dalam pasal ini menunjukan bahwa sepanjang mengenai
harta menjadi harta bersama atau harta campuran itu demi undang-undang menjadi
hubungan bersama, atau apabila suami istri sebelum melangsungkan perkawinan
mengadakan surat perjanjian di hadapan notaries mengenai hartanya, maka suami
istri dapat menempuh penyimpangan. Dengan demikian jelas di sini bagi mereka
yang tuduk kepada BW mengenai persatuan harta ini adalah bersifat memaksa, yang
berarti setelah perkawinan dilangsungkan maka sepanjang yang menyangkut harta
bersama tidak dapat diadakan perjanjian lain. Di sini harus dapat kita bedakan
bukan berarti bahwa para pihak menjadi hak separo-separo atas harta bersama,
apabila kemudian salah satu pihak meninggal dunia, apa yang kita kenal sebagai
barang gono gini di dalam Hukum Adat. Ataupun percampuran harta ini akan lebih
tepat kalau kita nyatakan, bahwa suami istri masing-masing mempunyai hak atas
harta, namun bagi mereka dapat tidak melakukan penguasaan (beschekking) atas
bagian mereka masing-masing.
Pada Bab
VII KUH Perdata (BW) pasal 147 tentang perjanjian perkawinan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan
berlangsung. Yang artinya dalam hal ini perjanjian perkawinan menurut
KUHPerdata harus dibuat dengan akta notaris (Pasal 147). Hal ini dilakukan,
kecuali untuk keabsahan perjanjian kawin, juga bertujuan:
- Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup.
- Untuk adanya kepastian hukum.
- Sebagai salah satunya alat bukti yang sah.
- Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPer.
Menurut UU
No. 1 Tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik
sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35). Mengenai harta bersama, suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta
bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36). Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya.
Secara umum, perjanjian
perkawinan (prenuptial agreement) berisi tentang pengaturan
harta kekayaan calon suami istri. Pada
prinsipnya pengertian perjanjian
perkawinan itu sama dengan
perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara
dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan
pribadi masing-masing yang dibuat menjelang
perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian
perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan diatur
dalam Bab V Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat, yakni sebagai berikut :
Ayat (1)
: Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Ayat (2):
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama, dan kesusilaan.
Ayat (3) :
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Ayat
(4) : Selama perkawinan berlangsung perjanjian
tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.
Kendatipun
tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan
namun dapat diberikan batasan, sebagai suatu hubungan hukum
mengenai harta kekayaan mengenai kedua
belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu
hal, sedangkan dipihak lain berhak untuk menuntuk pelaksanaan perjanjian
tersebut. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah
perjanjian dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara
tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia, pengertian harta bersama sejalan dengan pengertian harta bersama
dalam Undang-UndangNomor1 Tahun 1974, Pasal 35 yaitu harta benda yang diperoleh
suami istri selama berlangsungnya perkawinan. Dalam pasal 85 KHI disebutkan
adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri, bahkan dalam pasal 86 ayat (1)
disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta bersama dan
istri karena perkawinan.
Pada kompilasi hukum Islam (KHI)
mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII Pasal 45 samapai 52
tentang perjanjian perkawinan. Pasal 45 KHI menyatakan bahwa
“kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk :
1.Ta’lik
talak.
2.Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dari Pasal
tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang nomor 1 tahun
1974. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 29 UUP dinyatakan
bahwa “yang dimaksud dengan perjanjian” dalam
Pasal ini tidak termasuk “ta’lik talak”, akan tetapi dalam KHI jelas ditegaskan
bahwa perjanjian perkawinan bisa dalam bentuk “ta’lik talak” dan bisa
dalam bentuk perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
“perjanjian perkawinan” menurut KHI bukan hanya terbatas pada harta
yang didapat selama perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing
suami istri. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan
terhadap harta bersama yaitu perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat nikah, perjanjian
tersebut dibuat oleh calon suami istri untuk mempersatukan
atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing selama
perkawinan berlangsung, tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak
yang melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi
pihak ketiga sejauh pihak ketiga tersangkut. Perjanjian perkawinan yang dibuat
antara calon suami istri tentang pemisahan harta bersama atau harta
syarikat tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk tetap
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila setelah dibuat, perjanjian perkawinan
tidak memenuhi ketentuan kewajiban suami untuk memenui kebutuhan rumah
tangga, menurut Pasal 48 ayat (2) KHI dianggap tetap terjadi pemisahan
harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami tetap menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.
Komentar
Posting Komentar