TAKE HOME - UAS Metodelogi Penelitian Dan Penulisan Hukum
|
1. Judul
: Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
a. Latar
Belakang
Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di Asia Tenggara. Secara
geografis, Indonesia terletak diantara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua
Australia serta terletak diantara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia. Hal ini menyebabkan Indonesia terletak pada posisi yang
strategis dengan berada di jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Namun
potensi geografis Indonesia ini dapat menjadi suatu ancaman sebagai jalur lalu
lintas kriminal. Fenomena kejahatan yang semakin berkembang pada level yang
jauh lebih canggih membawa pengaruh di berbagai sektor baik di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan salah satu yang turut berkembang pesat adalah
masalah perdagangan orang (human
trafficking). Kejahatan ini terjadi karena tidak ada penghormatan terhadap
martabat kemanusiaan. Manusia dipandang sebagai barang yang bisa ditentukan
harganya tanpa persetujuannya, dibawa, dikumpulkan, dikurung, dan ditempatkan
tanpa mempertimbangan kebutuhannya sebagai manusia.
Bertambah
maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia
sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional,
terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Penjelasan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang). Pengaturan perdagangan orang secara internasional telah
tercatat dalam beberapa konvensi diantaranya:
1. International Convention for The Suppression of White Slave Traffic
(Konvensi Internasional utuk Menghapus Perdagangan Budak Kulit Putih) Tahun
1910.
2. International Convention for The Suppression of Traffic in Women and
Children (Konvensi Internasional untuk Menghapus Perdagangan Perempuan dan
Anak) Tahun 1921.
3.
International Convention for The Suppression of Traffic in Women of Full Age
(Konvensi Internasioanl untuk Menghapus Perdagangan Perempuan Dewasa) Tahun
1933.
4. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts
Women, CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan) tahun 1979 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984.
5. Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Traffikking in Persons, Especially Women and Children, Supplement the United
Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime/ Protokol
tentang Mencegah, Menindak dan Menghukum (Pelaku) Perdagangan Orang Khususnya
Perempuan dan Anak Tahun 2000).
Perdagangan
orang kini tidak hanya menjadi perhatian domestik, namun telah menjadi isu
universal yang kian kompleks dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatannya seperti tak terelakkan, tak ada jeda waktu untuk mencegah atau
menghentikannya. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan
terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia, terutama bagi kaum
perempuan dan anak-anak yang rentan diperdagangkan. International Organization for Migration (OMI) mencatat pada
periode Maret 2005 hingga Desember 2014, jumlah perdagangan orang atau human
trafficking yang terjadi di Indonesia mencapai 6.651 orang. Angka ini menjadi
jumlah paling besar diantara negara-negara tempat terjadinya human trafficking
di dunia.
Dari
jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi pertama dengan jumlah 6.651 orang
atau sekitar 92,46 persen, dengan rincian korban wanita usia anak 950 orang dan
wanita usia dewasa 4.888 orang. Sedangkan korban pria usia anak 166 orang dan
pria dewasa sebanyak 647 orang. Sisanya 18 persen merupakan lelaki yang
mayoritas mengalami ekploitasi
ketika bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) (International
Organization for Migration (IOM): Maret 2005-Desember 2014).
Negara
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,
hukum sebagai agent of chance
seharusnya dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial
maupun kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Fungsi sosial terpenting suatu
negara dalam masyarakat modern adalah meningkatkan citra kesadaran sosial. Di
Indonesia upaya untuk menangani masalah human
trafficking telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang ini diharapkan
dapat menjadi instrumen penegakan hukum dalam menjerat pelaku tindak pidana
perdagangan orang sekaligus melindungi hak-hak korban.
Rendahnya
tingkat ekonomi, pendidikan, dan situasi psikologis adalah penyebab utama
terjadinya perdagangan orang. Bentuk-bentuk eksploitasi yang sering dijumpai
diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada
praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentk perbudakan modern,
translantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, hingga penjualan bayi yang
dimaksudkan untuk tujuan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku
perdagangan orang.
Umumnya
korban perdagangan orang adalah mereka para pekerja seks komersial di wilayah
lokalisasi. Para pelaku (traffickers)
biasanya menggunakan berbagai cara untuk menarik dan mengendalikan korbannya,
termasuk janji-janji pekerjaan dengan gaji tinggi, jeratan utang, tekanan
masyarakat dan keluarga, ancaman kekerasaan, hingga pencarian bakat untuk
tampil sebagai model atau pengisi acara hiburan.
Perdagangan
orang menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
para korban. Dari segi fisik, korban tak jarang terjangkit penyakit karena
situasi hidup dan dampak dari pekerjaannya misalnya HIV/AIDS yang ditularkan
melalui hubungan seksual. Dari segi psikis, para korban kehilangan kesempatan
untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Mayoritas para
korban mengalami stress dan depresi akibat dari apa yang mereka alami. Sering
kali korban mengasingkan diri dari kehidupan sosial bahkan keluarga.
Permasalahan
yang timbul kemudian adalah bagaimana memperkuat keberpihakan pada korban.
Masalah perlindungan terhadap korban selalu menjadi permasalahan yang menarik
untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban tidak hanya
berkaitan dengan perlindungan saja, akan tetapi berkaitan pula dengan hambatan
yang dihadapi. Kedudukan korban dalam peradilan pidana sebagai pihak pencari keadilan
selama ini terabaikan. Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat
secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan
kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu
kejahatan.
Apabila
dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan
lebih mendapat perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readaptasi sosial, pemasyarakatan, dan
lain-lain. Korban disini tidak begitu begitu populer diperhatikan, karena
konsep penghukuman hanya diberikan kepada pelaku yang hal tersebut menandakan
selesainya persoalan. Padahal di hukumnya seorang pembuat kejahatan, belum
tentu si korban merasa rela dan aman. Banyak korban yang masih belum merasa
mendapat keadilan dan kembalinya posisi korban di tengah masyarakat akibat
trauma yang mendapat dan terpaan psikis yang tajam sehingga sulit untuk
berubah. Begitulah kemudian perlindungan korban kejahatan begitu penting.
Kejahatan perdagangan manusia yang semakin terorganisir, semakin merepotkan
pemerintah untuk memberikan perlindungannya terhadap korban, karena kejahatan
menjadi transnasional, tersetruktur dan sistematis. Dari kejadian tersebut
penting untuk dikaji lebih dalam mengenai perlindungan terhadap korban dari
tindak pidana perdagangan orang.
RUMUSAN MASALAH :
a. Bagaimana bentuk perlindungan
terhadap korban kejahatan perdagangan manusia/manusia ?
b. Apakah faktor yang menjadi kendala
pemerintah dalam melakukan perlindungan korban kejahatan perdagangan
manusia/manusia?
b. –Analisis :
a. Perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan manusia
Berkait aspek yuridis tentang perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah yang paling utama dan utama adalah melalui penggunaan kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP). Walaupun dalam produk hukum ini belum
memperhatikan kepentingan korban daripada pelaku, namun setidaknya ada satu
pasal yang memberikan klausan terkait perlindungan terhadap korban yaitu pada
pasal 14c ayat 1 KUHP tentang ganti kerugian yang bersifat keperdataan. Bunyi
pasal tersebut adalah sebagai berikut:
“pada perintah yang disebut dalam pasal 14c kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana
tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa
orang yang dipidana itu akan mengganti
kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja,
yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada perintah itu juga, yang
kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut bunyi pasal di atas menimbulkan penafsiran, bahwa materi muatan
dalam KUHP sudah sedikit memberikan perhatian khusus terhadap korban. Menurut
barda nawawi bahwa dalam hukum pidana positif perlindungn korban lebih banyak
merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, artinya dengan
adanya berbagai banyak perumusan tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan selama ini, bsearti pada hakekatnya telah ada perlindungan
hukum dan hak asasi korban.
Dengan demikian, KUHP belum secaranya nyata dan tegas menentukan ketentuan
secara konkret atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan
dan juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) bagi korban dan
keluarga korban sekaligus. Hakim hanya diberikan tawaran secara fakultatif,
sehingga ketentuannya tiada imperatif dan memaksa untuk melakukan perlindungan
mnurut bunyi muatan pasal dalam KUHP.
Selain perlindungan hukum dari KUHP, perlindungan terhadap korban pun dapat
ditemukan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban. Khususnya pada pasal 5 ayat (1) yang memberikan legitimasi terhadap
perlindungan keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta terbebas dari
ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan sedang atau telah
diberikannya. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan,
mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapatkan informasi
mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan, mendapat identitas baru dan
kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan, mendapatkan nasehat hukum, memperoleh bantuan biayahidup sementara
sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Kemudian bahwa diberlakukannya undang-undang tersebut
sebenarnya pemerintah telah menunjukkan secara subtantif ihwal hukum yang
berorientasi secara bottom-up. Hal ini berbeda dengan undang-undang lainnya
yang bersifat top-down dan lebih kental dengan kepentingan penguasa yang di
tandai dengan aturan-prosedural yang justru menyulitkan sendiri bagi pencari
keadilan.
Spesifik mengenai perlindungan terhadap kejahatan
perdagangan orang tertera pada undang-undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pedagangan Orang. Khususnya pada pasal 43 ayat (1)
Ganti kerugian dan serta rehabilitasi medis dan sosial serta reintegrasi yang
harus dilakukan oleh negara khususnya bagi korban yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana
perdagangan orang. Kemudian pasal berikutnya dari pasal 44, pasal 47, pasal 48,
dan pasal 51 hingga pasal 54 undang-undang nomor 21 tahun 2007 yang
berturut-turut mengatur tentang kerahasiaan identitas korban, hak mendapatkan
restitusi atau ganti rugi, baik terkait hak milik, biaya selama mengemban
proses hukum, baik didalam negeri maupun di luar negeri, dan restitusi tersebut
harus dicantumkan sekaligus pada amar putusan pengadilan.
b. Faktor yang menjadi kendala
pemerintah dalam melakukan perlindungan korban kejahatan perdagangan manusia
Hal yang menjadi hambatan dalam melakukan perlindungan
serius terkait korban perdagangan manusia adalah selain dari pihak pemerintah
kepolisian, atau kejaksaan, dan pengadilan, sebenarnya justru dari korban itu
sendiri yang terkadang melalukan pembiaran karena yang pertama tidak mampu
bereaksi terhadap penyimpangan, yang kedua, sikorban atau badan kontrol lain
mungkin takut akan ada akibat yang lebih serius karena pertentangan tersebut,
yang ketiga, sikap tidak eduli ini sudah menjadi iklim sosial yang ditimbulkan
oleh tidak adanya rekasi yang luas.Dari sudut pandang pemerintah sebenarnya
masih adanya faktor lain kemudian masih ditemukannya monopoli model yang di pakai
oleh pemerintah sendiri dalam melakukan perlindungan terhadap korban yaitu
model hak-hak prosedural (The Procedural Rights). Model ini korban dapat
mencampuri proses peradilan.
Perlindungan dari pemerintah yang masih dirasa kurang diantaranya karena dari
pihak intern sendiri belum menemukan format yang cocok untuk dijadikan
pamungkasnya. Konsep Mutual legal sistem yang digunakan pemerintah dalam
lingkup kejahatan lintas Negara ini sebenarnya masih bisa dimaksimalkan jika
secara spesifik pemerintah menggunakan konsep Biliteral agreement, karena dua
Negara yang sirkuit lintas perdagangan tersebut akan lebih leluasa menentukan
intremen hukum yang menjadi episentrum persoalan. Kedua Negara yang sering
menjadi jalur perdagangan akan lebih dini menanggulanginya.
-
Kesimpulan
Perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan
orang di Indonesia memang sudah diatur dalam beberapa perundang-undangan, namun
dalam hal pelaksanaan penegakkan hukumnya, para aparat dan pemerintah masih belum
serius mengimplikasikannya. Produk hukum
yang utama dipakai menjadi dasar para penegak hukum yaitu KUHP masih belum
memberikan tenhenti keperpihakan terhadap korban, karenan memang produk tersebut
masih menawarkan klausal abstrak terkait korban yang hanya diwakilkan oleh negara.
Faktor penyebab sulitnya perlindungan sebenarnya tidak hanya dipemerintah saja
melainkan korban itu sendiri yang terkadang melakukan pembiaran karena yang
pertama: tidak mampu bereaksi terhadap penyimpangan, yang kedua: sikorban
mungkin takut akan ada akibat yang lebih serius karena pertentangan tersebut, yang
ketiga: sikap tidak peduli yang sudah menjadi iklim sosial yang ditimbulkan
oleh tidak adanya rekasi yang luas.
2. –
Penelitian hukum empirik / sosiologis :
a. Subjek
yang diteliti disebut responden
b. Metode
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam arti nyata dan
meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
masyarakat
c. Bahan
hukum : bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh langsung dari kehidupan
masyarakat dengan wawancara, observasi, kuesioner dll
d. Bebas
nilai
-Penelitian
non empirik / sosio legal :
a. Subjek
yang diteliti disebut informan
b. metode
penelitian yang mendekati suatu permasalahan melalui penggabungan antara
analisa normatif dengan pendekatan ilmu non-hukum dalam melihat hukum
c. Bahan
hukum : kasus / fenomena (menjadi sumber utama, baik yang sudah diputus ataupun
yang belum diputus)
d. Peneliti
subjektif
e. Syarat
nilai
3. Permasalahan
penelitian sosio-legal : Hubungan
Seksual Diluar Nikah Melihat Suatu Fenomena Di Padang.
Cara menelitinya yaitu
dengan menggali kasus atau fenomena hubungan seksual diluar nikah yang tidak
tebatas, bisa kasus yang sudah diputus atau kasus yang belum diputus. Data yang
diperoleh nantinya berasal dari informan(subjek yang diteliti) dan hasil penelitian
hanya berlaku untuk daerah Padang.
a. Pendekatan
penelitian : Mikro Kualitatif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidikan suatu fenomena sosial
b. jenis penelitian :
Sosio-legal ( Meneliti pada suatu fenomena)
c. setting social : di
Padang
d. Instrumen penelitian
: Peneliti
e.
Instrumen penelitian dari siapa: Remaja yang terlibat hubungan seksual di luar
nikah
f. Teknik pengumpulan
data: Observasi partisipatif dan wawancara mendalam
g. Analisis data:
Induktif (pencarin data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telh
dirumuskan, analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan
bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokan
h. Validasi data: Validitasi internal
4. a. Random sampling adalah teknik pengambilan sampel secara sembarangan
atau tanpa pilih atau tanpa rambang, tetapi dimana setiap objek atau individu
atau gejala yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih
menjadi sampel. Cara melakukan random sampling yaitu cara undian atau lotre,
cara ordinal, randomisasi dari tabel bilangan random, dan multistage sampling.
b. Non-random sampling adalah teknik sampling yang memberikan
kesempatan atau peluang yang tidak sama bagi setiap anggota populasi atau
setiap unsur untuk dipilih sebagai sampel.
c. Snowball sampling adalah metode sampling dimana sampel
diperoleh melalui proses bergulir dari satu responden ke responden yang
lainnya, biasanya metode ini digunakan untuk menjelaskan pola-pola sosial atau
komunikasi suatu komunitas tertentu. Atau dengan kata lain, dalam penentuan
sampel pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang
ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari
orang lain yang di pandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan
oleh dua orang sebelumnya, begitu seterusnya sehingga jumlah sampel semakin
banyak. Atau dapat di singkat snawball
sampling yaitu teknik penentuan jumlah sampel yang semula kecil kemudian terus
membesar ibarat bola salju (seperti multi lavel marketing).
d. Populasi adalah seluruh objek atau seluruh obyek atau
seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit
yang akan diteliti.
e. Hipotesa adalah
kesimpulan penelaahan teoritis terhadap permasalahan penelitian yang harus
diuji kebenarannya secara empiris. Karena fungsinya yang demikian ini, hipotesa
tidak boleh berwujud pertanyaan atau permasalahaan, tetapi harus merupakan
jawaban pemecahan permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau
statement.
f. Responde adalah semua orang baik secara
individu maupun kolektif yang akan dimintai keterangan yang diperlukan oleh
pencari data. Bagi seorang peneliti, proses pengumpulan data dari responden
baik melalui angket, kuesioner, atau wawancara langsung betul-betul harus
diteliti. Kemampuan responden sedikit banyak mempengaruhi jawaban atau
informasi yang diberikan, terutama kalau pertanyaan menyangkut nama baik daerah
atau pertanyaan yang bersifat sensitif.
g. Informan adalah pada penelitian kualitatif posisi narasumber
sangat penting, bukan sekedar memberi respons melainkan juga sebagai pemilik
informasi. Disebut informan (orang yang mamberi informasi, sumber informasi,
sumber data) atau disebut juga subjek yang diteliti, karena dia juga aktor atau
pelaku yang ikut melakukan berhasil atau tidaknya penelitian berdasarkan
informasi yang diberikan.
h. Data primer adalah sumber data penelitian yang diperoleh
secara langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak pendapat dari
individu atau kelompok maupun hasil obsevasi dari suatu objek, kejadian atau
hasil pengujian (benda).
i.
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan
hukum yang mengikat terdiri dari :
a.
norma dasar pancasila
b.
peraturan dasar : batang tubuh UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR
c.
peraturan perundang-undangan
d.
bahan hukum yng tidak dikodifikasi, misalnya: hukum adat
e.
yurisprudensi
f.
traktat
j. Data sekunder adalah sejumlah keterangan fakta-fakta yang tidak diperoleh secara langsung
dari sumber pertama, dapat melelui bahan dokumen, peraturan perundang-undangan,
laporan, buku-buku, kepustakaan, dan sebagainya.
k.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer,
adalah : a. rancangan peraturan
perundang-undangan
b. hasil karya ilmiah para sarjana
c. hasil-hasil penelitian
Komentar
Posting Komentar