TAKE HOME - UAS Metodelogi Penelitian Dan Penulisan Hukum


NAMA                         : Thania Putri Marni 
NIM                              : 11010115120024   
MATA KULIAH         : Metode Penelitian dan Penulisan Hukum
KELAS                         : A
DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Esmi Warassih     Pujirahayu, S.H., M.S.

 
 








1.    Judul : Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
a.    Latar Belakang
Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di Asia Tenggara. Secara geografis, Indonesia terletak diantara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta terletak diantara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Hal ini menyebabkan Indonesia terletak pada posisi yang strategis dengan berada di jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Namun potensi geografis Indonesia ini dapat menjadi suatu ancaman sebagai jalur lalu lintas kriminal. Fenomena kejahatan yang semakin berkembang pada level yang jauh lebih canggih membawa pengaruh di berbagai sektor baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan salah satu yang turut berkembang pesat adalah masalah perdagangan orang (human trafficking). Kejahatan ini terjadi karena tidak ada penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Manusia dipandang sebagai barang yang bisa ditentukan harganya tanpa persetujuannya, dibawa, dikumpulkan, dikurung, dan ditempatkan tanpa mempertimbangan kebutuhannya sebagai manusia.
Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Pengaturan perdagangan orang secara internasional telah tercatat dalam beberapa konvensi diantaranya:
1. International Convention for The Suppression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional utuk Menghapus Perdagangan Budak Kulit Putih) Tahun 1910.
2. International Convention for The Suppression of Traffic in Women and Children (Konvensi Internasional untuk Menghapus Perdagangan Perempuan dan Anak) Tahun 1921.
3. International Convention for The Suppression of Traffic in Women of Full Age (Konvensi Internasioanl untuk Menghapus Perdagangan Perempuan Dewasa) Tahun 1933.
4. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women, CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) tahun 1979 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
5. Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Traffikking in Persons, Especially Women and Children, Supplement the United Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime/ Protokol tentang Mencegah, Menindak dan Menghukum (Pelaku) Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak Tahun 2000).
Perdagangan orang kini tidak hanya menjadi perhatian domestik, namun telah menjadi isu universal yang kian kompleks dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatannya seperti tak terelakkan, tak ada jeda waktu untuk mencegah atau menghentikannya. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia, terutama bagi kaum perempuan dan anak-anak yang rentan diperdagangkan. International Organization for Migration (OMI) mencatat pada periode Maret 2005 hingga Desember 2014, jumlah perdagangan orang atau human trafficking yang terjadi di Indonesia mencapai 6.651 orang. Angka ini menjadi jumlah paling besar diantara negara-negara tempat terjadinya human trafficking di dunia.
Dari jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi pertama dengan jumlah 6.651 orang atau sekitar 92,46 persen, dengan rincian korban wanita usia anak 950 orang dan wanita usia dewasa 4.888 orang. Sedangkan korban pria usia anak 166 orang dan pria dewasa sebanyak 647 orang. Sisanya 18 persen merupakan lelaki yang mayoritas mengalami ekploitasi ketika bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) (International Organization for Migration (IOM): Maret 2005-Desember 2014).
Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, hukum sebagai agent of chance seharusnya dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Fungsi sosial terpenting suatu negara dalam masyarakat modern adalah meningkatkan citra kesadaran sosial. Di Indonesia upaya untuk menangani masalah human trafficking telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi instrumen penegakan hukum dalam menjerat pelaku tindak pidana perdagangan orang sekaligus melindungi hak-hak korban.
Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan, dan situasi psikologis adalah penyebab utama terjadinya perdagangan orang. Bentuk-bentuk eksploitasi yang sering dijumpai diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentk perbudakan modern, translantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, hingga penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdagangan orang.
Umumnya korban perdagangan orang adalah mereka para pekerja seks komersial di wilayah lokalisasi. Para pelaku (traffickers) biasanya menggunakan berbagai cara untuk menarik dan mengendalikan korbannya, termasuk janji-janji pekerjaan dengan gaji tinggi, jeratan utang, tekanan masyarakat dan keluarga, ancaman kekerasaan, hingga pencarian bakat untuk tampil sebagai model atau pengisi acara hiburan.
Perdagangan orang menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Dari segi fisik, korban tak jarang terjangkit penyakit karena situasi hidup dan dampak dari pekerjaannya misalnya HIV/AIDS yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dari segi psikis, para korban kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Mayoritas para korban mengalami stress dan depresi akibat dari apa yang mereka alami. Sering kali korban mengasingkan diri dari kehidupan sosial bahkan keluarga.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah bagaimana memperkuat keberpihakan pada korban. Masalah perlindungan terhadap korban selalu menjadi permasalahan yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban tidak hanya berkaitan dengan perlindungan saja, akan tetapi berkaitan pula dengan hambatan yang dihadapi. Kedudukan korban dalam peradilan pidana sebagai pihak pencari keadilan selama ini terabaikan. Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.
Apabila dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readaptasi sosial, pemasyarakatan, dan lain-lain. Korban disini tidak begitu begitu populer diperhatikan, karena konsep penghukuman hanya diberikan kepada pelaku yang hal tersebut menandakan selesainya persoalan. Padahal di hukumnya seorang pembuat kejahatan, belum tentu si korban merasa rela dan aman. Banyak korban yang masih belum merasa mendapat keadilan dan kembalinya posisi korban di tengah masyarakat akibat trauma yang mendapat dan terpaan psikis yang tajam sehingga sulit untuk berubah. Begitulah kemudian perlindungan korban kejahatan begitu penting. Kejahatan perdagangan manusia yang semakin terorganisir, semakin merepotkan pemerintah untuk memberikan perlindungannya terhadap korban, karena kejahatan menjadi transnasional, tersetruktur dan sistematis. Dari kejadian tersebut penting untuk dikaji lebih dalam mengenai perlindungan terhadap korban dari tindak pidana perdagangan orang.
RUMUSAN MASALAH :
a.       Bagaimana bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan manusia/manusia ?
b.      Apakah faktor yang menjadi kendala pemerintah dalam melakukan perlindungan korban kejahatan perdagangan manusia/manusia?

b.    –Analisis :
a.       Perlindungan  terhadap korban kejahatan perdagangan manusia
Berkait aspek yuridis tentang perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah yang paling utama dan utama adalah melalui penggunaan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Walaupun dalam produk hukum ini belum memperhatikan kepentingan korban daripada pelaku, namun setidaknya ada satu pasal yang memberikan klausan terkait perlindungan terhadap korban yaitu pada pasal 14c ayat 1 KUHP tentang ganti kerugian yang bersifat keperdataan. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
“pada perintah yang disebut dalam pasal 14c kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang  dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”
Menurut bunyi pasal di atas menimbulkan penafsiran, bahwa materi muatan dalam KUHP sudah sedikit memberikan perhatian khusus terhadap korban. Menurut barda nawawi bahwa dalam hukum pidana positif perlindungn korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, artinya dengan adanya berbagai banyak perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, bsearti pada hakekatnya telah ada perlindungan hukum dan hak asasi korban.
Dengan demikian, KUHP belum secaranya nyata dan tegas menentukan ketentuan secara konkret atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan dan juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) bagi korban dan keluarga korban sekaligus. Hakim hanya diberikan tawaran secara fakultatif, sehingga ketentuannya tiada imperatif dan memaksa untuk melakukan perlindungan mnurut bunyi muatan pasal dalam KUHP.
Selain perlindungan hukum dari KUHP, perlindungan terhadap korban pun dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Khususnya pada pasal 5 ayat (1) yang memberikan legitimasi terhadap perlindungan keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta terbebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan sedang atau telah diberikannya. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan, mendapat identitas baru dan kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapatkan nasehat hukum, memperoleh bantuan biayahidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Kemudian bahwa diberlakukannya undang-undang tersebut sebenarnya pemerintah telah menunjukkan secara subtantif ihwal hukum yang berorientasi secara bottom-up. Hal ini berbeda dengan undang-undang lainnya yang bersifat top-down dan lebih kental dengan kepentingan penguasa yang di tandai dengan aturan-prosedural yang justru menyulitkan sendiri bagi pencari keadilan.
Spesifik mengenai perlindungan terhadap kejahatan perdagangan orang tertera pada undang-undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pedagangan Orang. Khususnya pada pasal 43 ayat (1) Ganti kerugian dan serta rehabilitasi medis dan sosial serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi korban yang mengalami penderitaan  fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Kemudian pasal berikutnya dari pasal 44, pasal 47, pasal 48, dan pasal 51 hingga pasal 54 undang-undang nomor 21 tahun 2007 yang berturut-turut mengatur tentang kerahasiaan identitas korban, hak mendapatkan restitusi atau ganti rugi, baik terkait hak milik, biaya selama mengemban proses hukum, baik didalam negeri maupun di luar negeri, dan restitusi tersebut harus dicantumkan sekaligus pada amar putusan pengadilan.

b.      Faktor yang menjadi kendala pemerintah dalam melakukan perlindungan korban kejahatan perdagangan manusia
Hal yang menjadi hambatan dalam melakukan perlindungan serius terkait korban perdagangan manusia adalah selain dari pihak pemerintah kepolisian, atau kejaksaan, dan pengadilan, sebenarnya justru dari korban itu sendiri yang terkadang melalukan pembiaran karena yang pertama tidak mampu bereaksi terhadap penyimpangan, yang kedua, sikorban atau badan kontrol lain mungkin takut akan ada akibat yang lebih serius karena pertentangan tersebut, yang ketiga, sikap tidak eduli ini sudah menjadi iklim sosial yang ditimbulkan oleh tidak adanya rekasi yang luas.Dari sudut pandang pemerintah sebenarnya masih adanya faktor lain kemudian masih ditemukannya monopoli model yang di pakai oleh pemerintah sendiri dalam melakukan perlindungan terhadap korban yaitu model hak-hak prosedural (The Procedural Rights). Model ini korban dapat mencampuri proses peradilan.
Perlindungan dari pemerintah yang masih dirasa kurang diantaranya karena dari pihak intern sendiri belum menemukan format yang cocok untuk dijadikan pamungkasnya. Konsep Mutual legal sistem yang digunakan pemerintah dalam lingkup kejahatan lintas Negara ini sebenarnya masih bisa dimaksimalkan jika secara spesifik pemerintah menggunakan konsep Biliteral agreement, karena dua Negara yang sirkuit lintas perdagangan tersebut akan lebih leluasa menentukan intremen hukum yang menjadi episentrum persoalan. Kedua Negara yang sering menjadi jalur perdagangan akan lebih dini menanggulanginya.

-          Kesimpulan
Perlindungan  terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia memang sudah diatur dalam beberapa perundang-undangan, namun dalam hal pelaksanaan penegakkan hukumnya, para aparat dan pemerintah masih belum  serius mengimplikasikannya. Produk hukum yang utama dipakai menjadi dasar para penegak hukum yaitu KUHP masih belum memberikan tenhenti keperpihakan terhadap korban, karenan memang produk tersebut masih menawarkan klausal abstrak terkait korban yang hanya diwakilkan oleh negara. Faktor penyebab sulitnya perlindungan sebenarnya tidak hanya dipemerintah saja melainkan korban itu sendiri yang terkadang melakukan pembiaran karena yang pertama: tidak mampu bereaksi terhadap penyimpangan, yang kedua: sikorban mungkin takut akan ada akibat yang lebih serius karena pertentangan tersebut, yang ketiga: sikap tidak peduli yang sudah menjadi iklim sosial yang ditimbulkan oleh tidak adanya rekasi yang luas.

2.    – Penelitian hukum empirik / sosiologis :
a.       Subjek yang diteliti disebut responden
b.      Metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum  di masyarakat
c.       Bahan hukum : bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh langsung dari kehidupan masyarakat dengan wawancara, observasi, kuesioner dll
d.      Bebas nilai
­­-Penelitian non empirik / sosio legal  :
a.       Subjek yang diteliti disebut informan
b.      metode penelitian yang mendekati suatu permasalahan melalui penggabungan antara analisa normatif dengan pendekatan ilmu non-hukum dalam melihat hukum
c.       Bahan hukum : kasus / fenomena (menjadi sumber utama, baik yang sudah diputus ataupun yang belum diputus)
d.      Peneliti subjektif
e.       Syarat nilai

3.    Permasalahan penelitian sosio-legal :  Hubungan Seksual Diluar Nikah Melihat Suatu Fenomena Di Padang.
Cara menelitinya yaitu dengan menggali kasus atau fenomena hubungan seksual diluar nikah yang tidak tebatas, bisa kasus yang sudah diputus atau kasus yang belum diputus. Data yang diperoleh nantinya berasal dari informan(subjek yang diteliti) dan hasil penelitian hanya berlaku untuk daerah Padang.

a. Pendekatan penelitian : Mikro Kualitatif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidikan suatu fenomena sosial

b. jenis penelitian : Sosio-legal ( Meneliti pada suatu fenomena)

c. setting social : di Padang

d. Instrumen penelitian :  Peneliti

e. Instrumen penelitian dari siapa: Remaja yang terlibat hubungan seksual di luar nikah

f. Teknik pengumpulan data: Observasi partisipatif dan wawancara mendalam

g. Analisis data: Induktif (pencarin data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telh dirumuskan, analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokan

h. Validasi data: Validitasi internal
4.     a. Random sampling adalah  teknik pengambilan sampel secara sembarangan atau tanpa pilih atau tanpa rambang, tetapi dimana setiap objek atau individu atau gejala yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Cara melakukan random sampling yaitu cara undian atau lotre, cara ordinal, randomisasi dari tabel bilangan random, dan multistage sampling.
        b. Non-random sampling adalah teknik sampling yang memberikan kesempatan atau peluang yang tidak sama bagi setiap anggota populasi atau setiap unsur untuk dipilih sebagai sampel.
        c. Snowball sampling adalah metode sampling dimana sampel diperoleh melalui proses bergulir dari satu responden ke responden yang lainnya, biasanya metode ini digunakan untuk menjelaskan pola-pola sosial atau komunikasi suatu komunitas tertentu. Atau dengan kata lain, dalam penentuan sampel pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang di pandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya, begitu seterusnya sehingga jumlah sampel semakin banyak. Atau  dapat di singkat snawball sampling yaitu teknik penentuan jumlah sampel yang semula kecil kemudian terus membesar ibarat bola salju (seperti multi lavel marketing).
        d. Populasi adalah seluruh objek atau seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.
        e.  Hipotesa adalah kesimpulan penelaahan teoritis terhadap permasalahan penelitian yang harus diuji kebenarannya secara empiris. Karena fungsinya yang demikian ini, hipotesa tidak boleh berwujud pertanyaan atau permasalahaan, tetapi harus merupakan jawaban pemecahan permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau statement.
f.  Responde adalah semua orang baik secara individu maupun kolektif yang akan dimintai keterangan yang diperlukan oleh pencari data. Bagi seorang peneliti, proses pengumpulan data dari responden baik melalui angket, kuesioner, atau wawancara langsung betul-betul harus diteliti. Kemampuan responden sedikit banyak mempengaruhi jawaban atau informasi yang diberikan, terutama kalau pertanyaan menyangkut nama baik daerah atau pertanyaan yang bersifat sensitif.
  g. Informan adalah pada penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting, bukan sekedar memberi respons melainkan juga sebagai pemilik informasi. Disebut informan (orang yang mamberi informasi, sumber informasi, sumber data) atau disebut juga subjek yang diteliti, karena dia juga aktor atau pelaku yang ikut melakukan berhasil atau tidaknya penelitian berdasarkan informasi yang diberikan.  
     h. Data primer adalah sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak pendapat dari individu atau kelompok maupun hasil obsevasi dari suatu objek, kejadian atau hasil pengujian (benda).
        i.  Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari :
          a. norma dasar pancasila
          b. peraturan dasar : batang tubuh UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR
          c. peraturan perundang-undangan
          d. bahan hukum yng tidak dikodifikasi, misalnya: hukum adat
          e. yurisprudensi
f. traktat
        j. Data sekunder adalah sejumlah keterangan fakta-fakta yang tidak diperoleh secara langsung dari sumber pertama, dapat melelui bahan dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, buku-buku, kepustakaan, dan sebagainya.
        k. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, adalah : a.  rancangan peraturan perundang-undangan
                                                b. hasil karya ilmiah para sarjana
                                     c. hasil-hasil penelitian
     










Komentar

Postingan Populer