TAKE HOME - UAS Hukum Dan Masyarakat


NAMA                         : Thania Putri Marni 
NIM                              : 11010115120024   
MATA KULIAH         : Hukum dan Masyarakat
KELAS                         : E
DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H., M.S.



 
 







1.    The law of the non transferability yaitu hukum tidak dapat langsung di tranfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Jadi kalau ada suatu hukum yang baru atau hukum asing yang ditransfer ke dalam masyarakat maka hukum yang baru itu tidak dapat langsung diberlakukan, tetapi harus melalui suatu proses penyesuaian diri oleh masyarakat  terhadap perubahan tersebut. Hal ini karena, walaupun hukum asing tersebut lebih efektif atau lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, namun belum tentu sesuai dengan pemikiran warga masyarakatnya.
a.       Menurut Lawrence M.Friedman : Hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri atas komponen – komponen, yaitu :
1.      (lembaga- lembaga publik, seperti : kepolisian, kejaksaan dll)
2.      Substansi ( produk dari lembaga publik, seperti: perundang-undangan)
3.      Kultur ( nilai-nilai, persepsi, sikap, keyakinan, kebiasaan)
b.      Menurut Von Savigny, menyangkal kemungkinan penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Norma – norma informal (mores) senantiasa mendahului norma hukum, mores tidak dapat dirubah oleh hukum. Perubahan mores hanya mungkin melalui proses perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama.
The law of the non transferability dilihat dari teori Lawrence M.Friedman dan Savigny  yaitu Kultur hukum dan mores , dimana kultur itu merupakan nilai yang dihayati, kebiasaan dan kultur itu terkait dengan taat atau tidaknya seseorang dan mores itu lebih dahulu dari pada hukum. Contoh : polisi di Bali (walaupun ada aturan untuk memakai helm ), kebiasaan masyarakat Bali memakai udeng, bukan berarti tidak taat tetapi udeng itu simbol kehormatan.
2.       Hukum ketika diimplementasikan dalam masyarakat selalu terjadi pergeseran bahkan pergantian tujuan, hal ini karena menurut teori bekerjanya hukum Chablis and Saidman: melihat hukum berkerja dalam masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen yaitu lembaga  pembuat peraturan, lembaga penerapan peraturan dan pemegang peranan. Agar hukum itu dapat bekerja dengan baik maka ketiga elemen itu harus berfungsi secara optimal. Pembuatan peraturan (eksekutif dan legislatif), mengenai materi normatifnya harus memunuhi syarat dan jelas perumusannya. Lembaga penerapan harus tegas dalam menerapkan peraturan dan tanpa diskriminasi. Yang termasuk sebagai pemegang peranan itu ialah masyarakat yang akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum (menantaati peraturan yang dibuat). Terjadinya pergeseran atau pergantian hukum tersebut disebabkan karena dalam membuat peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif dan eksekutif pasti ada faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi( seperti: faktor politik, ekonomi dll), maka dari itu banyak peraturan yang ditemukan sebagai produk gagal (hal ini dikarenakan adanya masuk unsur-unsur politik tadi)
Menurut Weber, perkembangan hukum modern secara teoritis dapat dikatakan sebagai melalui beberapa tahap yaitu : masyarakat karismatik (memiliki hukum dari masyarakat yang berkarisma), masyarakat empirik, masyarakat teoritis, dan masyarakat profesional. Pengeseran hukum ketika diimplementasikan dalam masyarakat terjadi karena  masyararakat yang yang selalu mengalami perkembangan dari karismatik menuju masyarakat yang modern. Jadi hukum itu selalu mengikuti perkembangan masyarakatnya, hal ini tentu disebabkan oleh kebutuhan masyarakat pada tahap perkembangan satu tentu berbeda dengan perkembangan lainnya. Semakin menuju masyarakat yang modern maka semakin kompleks kebutuhan masyarakatnya.

3.      Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Menurut Fuller, ada 8 nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum atau dinamakan “delapan prinsip legalitas”, yaitu:
1.      Harus ada peraturan – peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter.
2.      Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak.
3.      Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4.      Peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
5.      Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6.      Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain
7.      Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
8.      Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan hanya menyebabkan timbulnya sistem hukum yang jelek, tetapi lebih dari itu, hukum yang demikian adalah sama sekali tidak dapat disebut hukum. Contohnya : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang di hapus dan memberlakuakan kembali UU yang lama, karena ada pasal yang dinggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Air  sebagai unsur menguasai hajat orang  banyak (sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD haruslah dikuasi oleh negara. Sehingga dalam menguasai air harus ada pembatasan sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan iar bagi kehidupan. Hal ini tentu dapat membuat masyarakat ragu atau bingung dalam memakai acuan dari undang-undang tentang sumber daya air ini, karena setelah ada undang-undang yang baru yang dihapus dan diberlakukannya kembali undang-undang yang lama.
4.    Hukum tradisional adalah hukum yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat dan hanya ditaati oleh masyarakat bersangkutan. Hukum adat atau disebut juga hukum tradisional mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis karena peraturannya tidak tertulis. Ciri –ciri hukum tradisonal menurut Soerjono Soekanto :
1.      Hukum tradisional mempunyai sifat kebersamaan yang kuat.
2.      Mempunyai corak magis-relegius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3.      Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkret artinya hukum itu sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan – hubungan hidup yang konkrit.
4.      Memepunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang nampak).
Apakah hukum tradisonal dapat dipertahankan di era global sekarang ini? Untuk menjawab ini kita dapat melihat dari kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini, Contoh : pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau (menganut garis keturunan matrilinial), perbandingan bagian hak mewaris antara laki-laki dengan perempuan yaitu 1: 2. Dari contoh ini dapat kita lihat, walaupun masyarakat Minangkabau mayoritas beragama islam hukum namun tetap memakai  hukum adat dalam pembagian warisan dan bahkan mengesampingkan hukum  Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia itu susah untuk dapat menerapkan rasional maka dari itu masih bertahan sampai sekarang ini.
   
5.    Apabila ada konflik antara peraturan tertulis dan hukum yang hidup, maka cara penyelesaiannya dapat dilakukan dengan melihat hukum yang hidup di dalam masyarakat itu terlebih dahulu, setelah itu baru dengan melihat hukum tertulis.
Contoh : kasus kecelakaan lalu lintas di Kalimantan (orang suku Dayak), jadi kalau ada orang dayak yang menjadi korban kecalakaan lalu lintas maka harus menuntut penyelesaian menur hukum adat terlebih dahulu, setelah itu baru penyelesai menut hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).

Komentar

Postingan Populer