TAKE HOME - UAS Hukum Dan Masyarakat
|
1. The
law of the non transferability yaitu hukum tidak dapat langsung di tranfer
begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Jadi kalau ada suatu
hukum yang baru atau hukum asing yang ditransfer ke dalam masyarakat maka hukum
yang baru itu tidak dapat langsung diberlakukan, tetapi harus melalui suatu proses
penyesuaian diri oleh masyarakat
terhadap perubahan tersebut. Hal ini karena, walaupun hukum asing
tersebut lebih efektif atau lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat,
namun belum tentu sesuai dengan pemikiran warga masyarakatnya.
a. Menurut
Lawrence M.Friedman : Hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri atas komponen
– komponen, yaitu :
1. (lembaga-
lembaga publik, seperti : kepolisian, kejaksaan dll)
2. Substansi
( produk dari lembaga publik, seperti: perundang-undangan)
3. Kultur
( nilai-nilai, persepsi, sikap, keyakinan, kebiasaan)
b. Menurut
Von Savigny, menyangkal kemungkinan penggunaan hukum sebagai sarana untuk
melakukan perubahan. Norma – norma informal (mores) senantiasa mendahului norma
hukum, mores tidak dapat dirubah oleh hukum. Perubahan mores hanya mungkin
melalui proses perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama.
The
law of the non transferability dilihat dari teori Lawrence M.Friedman dan
Savigny yaitu Kultur hukum dan mores ,
dimana kultur itu merupakan nilai yang dihayati, kebiasaan dan kultur itu
terkait dengan taat atau tidaknya seseorang dan mores itu lebih dahulu dari
pada hukum. Contoh : polisi di Bali (walaupun ada aturan untuk memakai helm ),
kebiasaan masyarakat Bali memakai udeng, bukan berarti tidak taat tetapi udeng
itu simbol kehormatan.
2. Hukum ketika diimplementasikan dalam
masyarakat selalu terjadi pergeseran bahkan pergantian tujuan, hal ini karena
menurut teori bekerjanya hukum Chablis and Saidman: melihat hukum berkerja
dalam masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen yaitu lembaga pembuat peraturan, lembaga penerapan peraturan
dan pemegang peranan. Agar hukum itu dapat bekerja dengan baik maka ketiga
elemen itu harus berfungsi secara optimal. Pembuatan peraturan (eksekutif dan
legislatif), mengenai materi normatifnya harus memunuhi syarat dan jelas
perumusannya. Lembaga penerapan harus tegas dalam menerapkan peraturan dan
tanpa diskriminasi. Yang termasuk sebagai pemegang peranan itu ialah masyarakat
yang akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum (menantaati
peraturan yang dibuat). Terjadinya pergeseran atau pergantian hukum tersebut
disebabkan karena dalam membuat peraturan perundang-undangan oleh lembaga
legislatif dan eksekutif pasti ada faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi(
seperti: faktor politik, ekonomi dll), maka dari itu banyak peraturan yang
ditemukan sebagai produk gagal (hal ini dikarenakan adanya masuk unsur-unsur
politik tadi)
Menurut Weber,
perkembangan hukum modern secara teoritis dapat dikatakan sebagai melalui
beberapa tahap yaitu : masyarakat karismatik (memiliki hukum dari masyarakat
yang berkarisma), masyarakat empirik, masyarakat teoritis, dan masyarakat
profesional. Pengeseran hukum ketika diimplementasikan dalam masyarakat terjadi
karena masyararakat yang yang selalu
mengalami perkembangan dari karismatik menuju masyarakat yang modern. Jadi
hukum itu selalu mengikuti perkembangan masyarakatnya, hal ini tentu disebabkan
oleh kebutuhan masyarakat pada tahap perkembangan satu tentu berbeda dengan
perkembangan lainnya. Semakin menuju masyarakat yang modern maka semakin
kompleks kebutuhan masyarakatnya.
3. Fuller
mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat
berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Menurut Fuller, ada 8 nilai-nilai
yang harus diwujudkan oleh hukum atau dinamakan “delapan prinsip legalitas”,
yaitu:
1. Harus
ada peraturan – peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa tidak ada
tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc atau tindakan-tindakan yang
bersifat arbiter.
2. Peraturan-peraturan
itu harus diumumkan secara layak.
3. Peraturan-peraturan
itu tidak boleh berlaku surut.
4. Peraturan-peraturan
itu harus jelas dan terperinci ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
5. Hukum
tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6. Diantara
sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain
7. Peraturan-peraturan
harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
8. Harus
terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan
peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan
untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan hanya menyebabkan
timbulnya sistem hukum yang jelek, tetapi lebih dari itu, hukum yang demikian
adalah sama sekali tidak dapat disebut hukum. Contohnya : Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang di hapus dan memberlakuakan kembali UU
yang lama, karena ada pasal yang dinggap belum menjamin pembatasan pengelolaan
air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Air sebagai unsur menguasai hajat
orang banyak (sesuai Pasal 33 ayat (3)
UUD haruslah dikuasi oleh negara. Sehingga dalam menguasai air harus ada
pembatasan sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan iar bagi
kehidupan. Hal ini tentu dapat membuat masyarakat ragu atau bingung dalam memakai
acuan dari undang-undang tentang sumber daya air ini, karena setelah ada
undang-undang yang baru yang dihapus dan diberlakukannya kembali undang-undang
yang lama.
4. Hukum
tradisional adalah hukum yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat dan
hanya ditaati oleh masyarakat bersangkutan. Hukum adat atau disebut juga hukum
tradisional mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis karena
peraturannya tidak tertulis. Ciri –ciri hukum tradisonal menurut Soerjono
Soekanto :
1. Hukum
tradisional mempunyai sifat kebersamaan yang kuat.
2. Mempunyai
corak magis-relegius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3. Sistem
hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkret artinya hukum itu sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan – hubungan hidup yang
konkrit.
4. Memepunyai
sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh
karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang
nampak).
Apakah hukum tradisonal
dapat dipertahankan di era global sekarang ini? Untuk menjawab ini kita dapat
melihat dari kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini, Contoh : pembagian
warisan pada masyarakat Minangkabau (menganut garis keturunan matrilinial),
perbandingan bagian hak mewaris antara laki-laki dengan perempuan yaitu 1: 2.
Dari contoh ini dapat kita lihat, walaupun masyarakat Minangkabau mayoritas
beragama islam hukum namun tetap memakai
hukum adat dalam pembagian warisan dan bahkan mengesampingkan hukum Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat
Indonesia itu susah untuk dapat menerapkan rasional maka dari itu masih
bertahan sampai sekarang ini.
5. Apabila
ada konflik antara peraturan tertulis dan hukum yang hidup, maka cara
penyelesaiannya dapat dilakukan dengan melihat hukum yang hidup di dalam
masyarakat itu terlebih dahulu, setelah itu baru dengan melihat hukum tertulis.
Contoh : kasus
kecelakaan lalu lintas di Kalimantan (orang suku Dayak), jadi kalau ada orang
dayak yang menjadi korban kecalakaan lalu lintas maka harus menuntut penyelesaian
menur hukum adat terlebih dahulu, setelah itu baru penyelesai menut hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan).
Komentar
Posting Komentar