Tugas HATUN tentang Perbedaan Pasal 116, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 tahun 2004, UU No. 51 Tahun 2009



 ANGGOTA KELOMPOK 4 :
1.      Khosyi Lathifah          ( 11010115130498 )
2.      Jeremy Baron              ( 11010115120082 )
3.      M. Cakra Utama         ( 11010115120021 )
4.      Thania Putri M            ( 11010115120024 )
5.      Ida Hafni                    ( 11010115120006 )
6.      Ajeng Arindita L        ( 11010115120038 )
7.      Evangel Dimortiaji      ( 11010115120063 )
8.      Elvandi Christian        ( 11010115130515 )
9.      Reynaldo Zen             ( 11010115140384 )
10.  Anindya                      ( 11010115140235 )
11.  Yael Argani                 ( 11010115140314 )


A.    Perbedaan Pasal 116, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 tahun 2004, UU No. 51 Tahun 2009

Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan putusan PTUN, melalui perubahan UU. Pola yang dianut oleh Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun yaitu pola eksekusi otomatis, dan paling ekstrim dengan peneguran berjenjang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 menjadi adanya upaya paksa berupa uang paksa dan sanksi administrasi terhadap Pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN.

Perubahan yang mendasar dalam UU No. 5 tahun 1986 terletak pada Pasal 116 ayat (4) ayat (5) dan ayat (6). Sehubungan dengan masalah eksekusi, perlu disampaikan berupa perkembangan revisi undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 116, UU No. 5 tahun 1986, sebagai      berikut:

1.      Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belashari;

(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

2.      Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakanputusantersebut;

3.      Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;

4.      Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;

5.      Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.


Pasal 116, UU No. 9 tahun 2004, sebagai berikut:

1.      Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari;

2.      Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;

3.      Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;

4.      Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;

5.      Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 116, UU No. 51 Tahun 2009
1.      Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja;
2.      Apabila setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
3.      Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
4.      Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
5.      Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6.      Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan


A.    Latar Belakang Pasal 116, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 tahun 2004, UU No. 51 Tahun 2009

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai salah satu wujud bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dibentuk 4 (empat) lingkungan peradilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
1.      Peradilan Umum dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009;
2.      Peradilan Agama dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009;
3.      Peradilan Militer dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997;
4.      Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

Konsep negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut pemerintah atau eksekutif memiliki peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu adanya kontrol terhadap perbuatan pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk kontrol atas tindakan pemerintah adalah melalui lembaga peradilan.
Konsep atau ide dasar untuk membentuk peradilan administrasi sudah ada lama bahkan sebelum kemerdekaan. Namun realisasi terhadap ide-ide pembentukannya baru terwujud setelah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Desember 1986, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah kembali dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara .
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk adalah dalam menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negara dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat (baik mengenai hak-hak perorangan atau individu maupun hak-hak masyarakat).
Dengan demikian terbentuknya suatu badan peradilan yang diberi kekuasaan mengadili terhadap para pejabat pemerintahan yang menggunakan wewenang pemerintahannya dengan melanggar hak-hak warga negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya tersebut adalah merupakan langkah yang maju dalam rangka untuk mewujudkan supremasi hukum.
Masalah pelaksanaan putusan peradilan (executie) dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah ada sejak berdirinya badan peradilan ini. Walaupun demikian sampai saat ini masih tetap menjadi masalah, dengan kata lain belum ditemukan mekanisme bagaimana putusan harus dilaksanakan sesuai dengan materi putusan.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Eksekusi adalah aturan tentang cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan. Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
Eksekusi putusan pengadilan adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah pembatalan Surat keputusan yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif dan eksekusi putusan untuk membayar sejumlah uang.
Bahwa Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan secara umum atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaran Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha negara.
Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi dengan ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (eksekusi). “Eksekusi hierarkis” menjadi “eksekusi upaya paksa”. Perubahan ini adalah koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang diberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintahan untuk melaksanakan putusan.
Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) setelah perubahan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 (dipertahankan oleh Perubahan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 51 Tahun 2009) mengenal 3 (tiga) bentuk “upaya paksa”, yaitu:
1.      Kewajiban membayar sejumlah uang paksa;
2.      Pengenaan sanksi administratif;
3.      Publikasi pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada media massa.

Mekanisme “upaya paksa” dalam perubahan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diatur secara singkat, hanya ditemukan satu kali istilah “uang paksa”, “sanksi administratif“ dan “pengumuman pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada media massa cetak setempat”.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak memuat delegasi pengaturan lebih lanjut mekanisme pelaksanaan putusan. Sedangkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 memberikan kekuasaan pengaturan lebih kepada badan yang tidak jelas, hanya menyebut diatur dengan peraturan perundang-undangan.


Komentar

Postingan Populer