Makalah Hukum Perjanjian Internasional
PRESPEKTIF
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DARI SUDUT NEGARA BERKEMBANG
Disusun oleh :
NAMA : THANIA PUTRI MARNI
NIM : 11010115120024
KELAS : HUKUM PEJANJIAN INTERNASIONAL (C)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Perjanjian ekstradisi
merupakan perjanjian antar negara yang berbeda dalam hal penyerahan tersangka
kasus kriminal. Perjanjian Ekstradisi merupakan sebuah proses formal dimana
seorang tersangka kriminal ditahan oleh pemerintahan sebuah negara dan
diserahkan kepada negara lainnya untuk disidangkan atau diproses sesuai hukum
yang berlaku di negara tersebut. Singkatnya, Perjanjian Ekstradisi dapat
membuat sebuah negara bisa mengadili seorang kriminal yang kabur dan
bersembunyi ke negara tetangga. Tentunya dengan adanya perjanjian ini, ruang
gerak seorang kriminal menjadi sangat terbatas karena tempatnya untuk kabur dan
bersembunyi menjadi semakin sempit. Dengan kata lain, Perjanjian Ekstradisi
memungkinkan sebuah negara meminta buronan asal negaranya yang kabur ke negara
lain agar dikembalikan ke negara asalnya.
Ekstradisi
sendiri sangat terkait dengan kedaulatan dan yuridiksi dari suatu Negara.
Negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan korupsi
tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku
kejahatan itu berada, negara-negara tersebut dapat menempuh secara legal untuk
dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu negara
melindungi pelaku kejahatan korupsi yang memang sebelumnya tidak ada perjanjian
ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat
penampungan para pelaku kejahatan tersebut[1],
sama seperti Singapura yang menjadi tempat penampungan para pelaku korupsi yang
berasal dari Indonesia karena tidak adanya perjanjian ekstradisi antara
Indonesia dan Singapura.
Faktor
pendorong terbesar, mengapa banyak koruptor yang memilih Singapura untuk
melarikan diri ialah, letak geografisnya yang sangat dekat, antara Indonesia
dan Singapura, dan juga belum mempunyai perjanjian ekstradisi. Dengan demikian,
para pelaku kejahatan, terutama pelaku koruptor dapat dengan gampang menghilang
dari tangan hukum Indonesia dan bersembunyi di negara Singapura tersebut.
Ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia menyebabkan
pihak kepolisian Indonesia tidak bisa meminta bantuan kepada negara Singapura
untuk menangkap para pelaku kejahatan tersebut. Oleh karena itu, pihak
kepolisian di Indonesia harus menyelidiki sendiri keberadaan para pelaku
kejahatan tersebut, dan harus dibawa pulang ke Indonesia untuk diadili.
I.2 Rumusan Masalah
A.
Mengapa perjanjian ekstradisi itu penting ?
B.
Apa yang menjadi kendala Indonesia dalam mewujudkan perjanjian ekstradisi
dengan Singapura ?
I.3 Tujuan
A.
Mengetahui pentingnya perjanjian ekstradisi.
B.
Mengetahui kendala indonesia dalam mewujudkan perjanjian ekstradisi dengan
Singapura.
BAB II
PEMBAHASAN
II A. Pentingnya Perjanjian Ekstradisi
Contoh kasus
:
Belakangan, pemberitaan soal korupsi
di Indonesia didominasi oleh dua nama: Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti.
Keduanya pergi ke Singapura dengan alasan sakit dan menjalani pemeriksaan di
negeri itu. Nazaruddin,
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, menjadi tersangka dalam kasus dugaan
suap pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Palembang. Nunun, isteri mantan Wakapolri
Adang Darajatun, adalah tersangka kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 yang dimenangkan Miranda Goeltom. Dari
Singapura, Nunun diduga kabur ke Kamboja atau Thailand. Paspor keduanya telah
dicabut. Sekadar mengingatkan, menurut catatan Indonesian Corruption Watch
(ICW), bukan hanya dua orang itu saja yang kabur ke luar negeri dan menjadi
buruan aparat penegak hukum. ICW mencatat, sejak 2001 ada
43 orang lainnya yang juga kabur ke luar negeri.
Mereka seperti hilang ditelan bumi dan kasusnya seperti tenggelam. "Ini
merupakan daftar terduga, tersangka, terdakwa, terpidana, dugaan perkara
korupsi yang diduga telah dan pernah melarikan diri ke luar negeri dari 2001
hingga saat ini," ujar aktivis ICW Tama S Langkun kepada Kompas.com
di Jakarta, Minggu (3/7/2011).
Pentingnya
Perjanjian Ekstradisi
Sebuah perjanjian Eksradisi
merupakan sebuah sarana yang terpenting untuk mempermudah sebuah negara untuk
mengembalikan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain. Ketidak
adaannya sebuah perjanjian Ekstradisi antar negara akan mempersulit proses pengembalian
pelaku kejahatan ke negara peminta tersebut. Negara – negara cenderung untuk
memilih bentuk perjanjian ekstradisi sebagai sarana kerjasama internasional
untuk mencegah dan memberantas kejahatan. Ketiadaan dari Perjanjian Ekstradisi
menjadi salah satu hambatan yang sangat besar untuk mengembalikan pelaku
kejahatan, walaupun masih banyak lagi jalan yang bisa ditempuh supaya pelaku
kejahatan tidak menjadikan wilayah negara lain sebagai tempat pelarian dan
mencari perlindungan, seperti misalnya dengan memperkuat penjagaan keamanan di
daerah perbatasan wilayah, melakukan tindakan pengawasan yang lebih ketat
terhadap orang –orang yang memasuki atau meninggalkan wilayahnya, ataupun
dengan menggunakan upaya – upaya hukum seperti pengusiran dan deportasi yaitu
dengan menyuruh ke luar orang – orang yang tidak dikehendaki kehadirannya di
wilayah negara yang bersangkutan.
Ditegaskan disini, Kehadiran atau
masuknya orang asing ke dalam wilayah suatu negara dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu[2]:
Kelompok yang pertama, adalah mereka
yang benar – benar tidak mempunyai latar belakang yang tidak baik di negara
asalnya atau di negara tempatnya semula[3].
Kelompok kedua, adalah mereka yang berlatar belakang tidak baik, misalnya telah
melakukan kejahatan di negara asalnya atau di negara lain[4].
Terhadap kelompok yang pertama,
apabila dia melakukan tindakan yang tidak menyenangkan negara dimana dia
berada, misalnya melanggar hukum atau melanggar keamanan dan ketertiban negara
yang bersangkutan sudah tentu terhadapnya dapat dikenakan tindakan hukum,
misalnya mengadilinya, atau menghukumnya, atau mempersilahkan kepadanya untuk
meninggalkan wilayah negara itu. Dengan mempersilahkan orang itu untuk
meninggalkan wilayah negara itu, atau tegasnya, mengusir orang itu, maka
selesailah persoalan dari negara tersebut terhadap orang itu. Sedangkan bagi
orang yang diusir itu, adalah haknya untuk menentukan sendiri negara mana yang
akan ditujunya. Dalam hal ini jelas, bahwa tidak ada menyangkut pautkan
kepentingan dari negara lain.
Terhadap kelompok yang kedua,
berbeda masalahnya dengan kelompok yang pertama ini, kehadiran orang itu di
dalam wilayah suatu negara yang bukan negaranya adalah untuk menghindari
tuntutan hukum dari negara di mana dia telah melakukan kejahatan. Jadi, dalam
hal ini tersangkut kepentindan dari negara lain sebagai negara yang mempunyai
yurisdiksi atas orang atau perbuatannya itu. Meskipun kehadiran orang semacam
ini mungkin juga tidak dikehendaki oleh negara tersebut, misalnya karena
kehadirannya itu dapat mempengaruhi hubungan baik antara kedua negara atau
adanya kekhawatiran bahwa orang tersebut akan melakukan tindakan serupa,
meskipun tindakan pengusiran terhadap orang tersebut juga dapat dilakukan, akan
tetapi pengusiran sebagai tindakan sepihak ini mengandung beberapa kelemahan.
Kelemahan – kelemahan tersebut adalah[5]:
1.Jika si pelaku kejahatan yang akan diusir itu akan
mencari negara lain yang mungkin mau menerimanya dan kalau bisa untuk selama mungkin,
untuk menghindari tuntutan hukum dari negara dimana dia telah melakukan
kejahatan. Dengan demikian diaakan tetap lolos dari tuntutan hukum sehingga
rasa keadilan dari korban atau anggota keluarganya ataupun masyarakat negara
itu, tetap belum dipulihkan. Hal ini jelas tidak dikehendaki oleh negara itu sendiri.
2.Tindakan pengusiran ini tidaklah membantu untuk
mencegah dan memberantas kejahatan, sebab orang –orang pelarian semacam ini
telah lolos dari pengadilan dan hukum negara tempatnya melakukan kejahatan.
Bahkan dapat merangsang setiap pelaku kejahatan untuk melarikan diri ke negara
lain. Walaupun dia bisa dikenakan tindakan pengusiran, dia akan tetap merasa
aman memilih negara lain untuk mencari perlindungan.
3. Bagi si pelaku kejahatan itu sendiri, walaupun
pengusiran mungkin (dalam batas –batas tertentu) lebihmenguntungkan dirinya
seperti dikemukakan diatas, tetapi jika negara tempatnya melarikan diri juga
mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan yang telah dilakukannya itu
berdasarkan hukum nasional negara itu, kemudian ternyata mengadili dan
menghukumnya. Kemudian setelah dia selesai menjalani hukumannya, dia merasa
dirinya aman kembali ke negara asalnya atau ke negara tempat kejahatan tersebut
dilakukan dahulu (locus delicti). Tetapi ternyata negara locus delicti itu
mengadili dan menghukumnya atas kejahatan yang dahulu telah dijatuhi hukuman
oleh negara tersebut dahulu, juga berdasarkun hukum (pidana) nasional dari
negara yang bersangkutan. Dengan kata lain negara yang belakangan ini tidak mau
mengakui keputusan pengadilan negara terdahulu, atau menolak azas nebis in idem.
Jadi, jelaslah bahwa si pelaku kejahatan itu sendiri menderita resiko besar
karena kejahatannya itu kemungkinan akan diadili lebih dari satu kali. Dia
tidak bisa berlindung dibalik azas ne bis in idem, yang dalam ekstradisi sudah
diterima sebagai salah satu azasnya.
Dengan menguraikan beberapa kelemahan dari
pengusiran sebagai tindakan sepihak, maka sekarang tinggal alternatif yang
paling mungkin dipilih, yaitu ekstradisi. Ekstradisi ini dapat meniadakan atau
setidak – tidaknya mengurangi kelemahan – kelemahan pengusiran sebagai tindakan
sepihak seperti telah diuraikan diatas. Ekstradisi merupakan sarana untuk dapat
mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan oleh negara locus delicti atau
negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya itu. Dengan demikian
sekaligus rasa keadilan dari si korban atau anggota masyarakat dapat
dipulihkan.
II B.
Kendala Indonesia Dalam Mewujudkan Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura
1.Persyaratan dari Singapura Untuk
Mewujudkan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura
Antara pemerintah Indonesia dan
Singapura memang pernah menandatangani nota kesepahaman tentang ekstradisi yang
ditandatangani oleh masing - masing Menteri Luar Negeri yang disaksikan oleh Presiden
RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada
tanggal 27 April 2007 di Istana Tampaksiring, Bali. Untuk meratifikasi
perjanjian ekstradisi tersebut agar dapat berlaku efektif diperlukan suatu
persetujuan dengan parlemen negara masing - masing. Ratifikasi tersebut
kemudian dilegalkan dalam bentuk suatu Undang - Undang. Tapi berhubung kedua
negara belum meratifikasinya, maka perjanjian tersebut belum dapat berjalan
efektif dan mengikat. Pertanyaan selanjutnya
adalah, mengapa pemerintah RI tak mengupayakan perjanjian tersebut agar segera
diratifikasi. Upaya pemerintah RI agar perjanjian ekstradisi segera
diratifikasi sebenarnya sudah lama dilakukan. Namun, syarat yang diajukan
Pemerintah Singapura dipandang sangat tidak masuk akal. Di samping perjanjian
Ekstradisi, proses penandatanganan tersebut dilakukan tandem dengan perjanjian
Defense Coorporate Agreement(DCA) oleh pihak Singapura, dan Singapura meminta suatu
wilayah di Indonesia untuk dijadikan tempat pelatihan militer. Pemerintah RI
jelas menolak mentah - mentah syarat tersebut, DPR juga tidak setuju. Permintaan Singapura ini jelas tidak
lazim dan melecehkan Indonesia. Sejumlah perjanjian esktradisi yang dibuat
Pemerintah RI dengan negara - negara lain di dunia tidak pernah ada yang
mensyaratkan hal seperti itu.
2. Perbedaan Sistem Hukum Indonesia dan Singapura
Perbedaan ini membuat Pemerintah Indonesia kesulitan
untuk mewujudkan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
Pengadilan Singapura bisa membatalkan permohonan untuk 16 membawa koruptor
keluar dari negaranya dengan alasan
ketetapan putusan pengadilan. Dalam sistem Kontinental, undang - undang atau
kodifikasi dijadikan sebagai hukum utama. Sedangkan dalam sistem Anglo- Saxon,
preseden (putusan pengadilan sebelumnya) dan kebiasaan sebagai sumber hukum
utama. Sistem Anglo-Saxon
menempatkan pengadilan sebagai pihak yang menentukan
bisa atau tidaknya seseorang diekstradisi[6]
.Mengingat dalam sistem hukum common law proses ekstradisi harus melalui
tahapan pemeriksaan di persidangan yang bukan tidak mungkin tidak selesai di
satu tingkat pengadilan saja. Di Indonesia proses ekstradisi sejatinya tidak
memerlukan waktu yang terlalu lama karena hal tersebut merupakan bagian dari
wewenang eksekutif, bukan yudikatif seperti di negara-negara common law.
Sehingga, prosesnya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat.
BAB
III
PENUTUP
III A. KESIMPULAN
Ketiadaan dari Perjanjian Ekstradisi menjadi salah
satu hambatan yang sangat besar untuk mengembalikan pelaku kejahatan, walaupun
masih banyak lagi jalan yang bisa ditempuh supaya pelaku kejahatan tidak
menjadikan wilayah negara lain sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan,
seperti misalnya dengan memperkuat penjagaan keamanan di daerah perbatasan
wilayah, melakukan tindakan pengawasan yang lebih ketat terhadap orang –orang
yang memasuki atau meninggalkan wilayahnya, ataupun dengan menggunakan upaya – upaya
hukum.
Perbedaan sistem hukum Indonesia dan
Singapura membuat Pemerintah Indonesia kesulitan untuk mewujudkan perjanjian
ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Mengingat dalam sistem hukum common
law proses ekstradisi harus melalui tahapan pemeriksaan di persidangan yang
bukan tidak mungkin tidak selesai di satu tingkat pengadilan saja. Di Indonesia
proses ekstradisi sejatinya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama karena hal
tersebut merupakan bagian dari wewenang eksekutif
III B. SARAN
Perjanjian
ekstradisi diharapkan untuk dapat menjadi sarana untuk dapat mengadili dan menghukum si
pelaku kejahatan oleh negara locus delicti atau negara yang memiliki yurisdiksi
atas kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa keadilan dari si korban
atau anggota masyarakat dapat dipulihkan. Tanpa adanya perjanjian
ekstradisi memang ada mekanisme lainnya untuk menangkap para pelaku koruptor
tersebut, walaupun memiliki cara yang sedikit rumit.
Untuk
dapat mengembalikan pelaku korupsi Indonesia yang melarikan diri ke Singapura
dengan mudah hanya dengan menggunakan perjanjian ekstradisi.. Hal ini
disebabkan karena ekstradisi memungkinkan prosedur yang lebih efisien karena
bisa langsung dilakukan penyerahan tersangka lewat kedutaan masing-masing
negara tanpa harus melalui prosedur lembaga internasional seperti Mahkamah
Internasional atau Interpol. Oleh karena itu, pihak Indonesia tetap harus
berusaha keras dan menekan agar perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan
Singapura dapat diadakan dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
DAFTAR
PUSTAKA
I
Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum
Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1990.
Kusumaatmadja,
Mochtar.Pengantar Hukum Internasional.Bandung:PT. Alumni,2010. Agusman, Damos
Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik
Indonesia.Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
Kunci, Skripsi Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang, http://contohmakalah-contohskripsi.blogspot.com/2011/02/skripsi-perjanjian-ekstradisi-dalam.html
Rahmat
Sahid, Ekstradisi;Perbedaan Sistem
Hukum Bisa jadi Kendala, http://rahmatsahid.multiply.com/journal/item/15?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1
tahun 1979 tentang ekstradisi
Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum
Perjanjian Internasional
[1] Kunci, Skripsi
Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pencucian Uang, http://contohmakalah-contohskripsi.blogspot.com/2011/02/skripsi-perjanjian-ekstradisi-dalam.html
[2]Margaretta
S R Silitonga, Lembaga Extradisi sebagai sarana Pencegahan dan Pemberantasan
Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, Medan, 2007, hlm. 92
[3] I Wayan
Parthiana, Extradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia,
Alumni, Bandung, 1993, hlm. 6
[4] Ibid,
hlm 6
[5]
Margaretta S R Silitonga, opcit, hlm. 93
[6] Rahmat Sahid, Ekstradisi;Perbedaan
Sistem Hukum Bisa jadi Kendala,
http://rahmatsahid.multiply.com/journal/item/15?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem,
Komentar
Posting Komentar